REFLEKSI MAULID : KETELADANAN SANG PENDIDIK SEJATI
Oleh: M. Kholid Afandi, S.Pd.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Al-Quran surat At-Taubah ayat 128:
لَقَدْ جاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ ما عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُفٌ رَحِيمٌ (التوبة : 128)
Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.
*****
Saat menelusuri referensi dari tafsir ayat QS. At-Taubah : 128 di atas sebagai salah satu landasan kita berefleksi di peringatan Maulid Nabi, saya jadi teringat lirik lagu Virgoun berjudul “Saat Kau Telah Mengerti”. Pesan-pesan pendidikan dari seorang ayah kepada anaknya. Senada dan searah dengan sifat-sifat Rasulullah sebagai pendidik sejati umatnya.
Nak, bila suatu saat kau dengarkan lagu ini
Dan aku sudah tak ada lagi di sampingmu
Kau akan mengerti
Mengapa begitu menyebalkannya ku di matamu
Nak, jika saat nanti kau telah hidup sendiri
Dan dunia ternyata tak seperti harapanmu
Ku ada di sini
Menjadi rumah yang s’lalu menanti kepulanganmu
Kelak kau ‘kan jadi orang tua seperti aku
Yang ingin anakmu bahagia dengan hidupnya
Bila bentakan kecilku patahkan hatimu
Lebih keras dari itu, dunia ‘kan menghakimimu
Kubentuk dirimu menjadi engkau hari ini
Kau harus kuat, kau harus hebat
Permata hatiku..
Dalam ayat tersebut, dijelaskan bahwa Rasullah shallallahu alaihi wasallam datang kepada kita, dengan lima sifat. Pertama, مِنْ أَنْفُسِكُمْ yakni bahwa Rasulullah adalah utusan Allah, yang berasal dari diri umat manusia. Untuk menyampaikan pesan-pesan ketuhanan pada manusia, Allah mengutus utusan dari kalangan manusia. Atau, untuk menyampaikan pesan-pesan ketuhanan kepada orang Arab, Allah mengutus Rasul dari kalangan orang Arab. Ini adalah pesan, bahwa dakwah harus dilakukan oleh “orang dalam”, atau setidaknya oleh orang yang menjadi bagian dari target dakwah. Jika belum dianggap “orang dalam”, seorang da’i harus melakukan pendekatan personal, sampai pada taraf dianggap sebagai bagian dari masyarakat target dakwah. Karenanya mengapa para Wali Songo melakukan akulturasi dan adaptasi dengan budaya setempat, agar dakwahnya lebih mengena dan diterima, karena disampaikan oleh orang dalam. Dalam sebagian qira’ah, dibaca مِنْ أَنْفَسِكُمْ(min anfasikum), dengan terbaca fathah huruf fa’ nya, yang bermakna “dari orang terbaik kalian”. Rasulullah berasal dari bangsa Arab pilihan, dari keturunan orang pilihan. Maka, meski Rasul adalah manusia, beliau bukan manusia biasa. Muhammadun basyarun laa kal basyari.
Guru, sebagai agen penyampai pesan pendidikan, selayaknya memosisikan diri sebagai bagian dari anak-anak didiknya. Siap menjadi partner dalam proses pembelajaran dan pembentukan karakter, sebagai kawan pendengar curhatan anak-anak didiknya. Akan tetapi, secara etis, guru harus berposisi dan diposisikan “orang pilihan”, setidaknya karena mereka lebih dahulu mengenyam ilmu, dibanding anak-anak didiknya. Guru adalah teman bagi anak-anak didiknya, tetapi bukan teman biasa, sehingga harus mendapatkan porsi penghormatan yang selayaknya. Guru pun tetap memosisikan diri sebagai bukan teman biasa, mengkondisikan diri sebagai yang “lebih” dari anak-anak didiknya. Maka guru harus berperilaku yang seseuai dengan maqam-nya yang akan menjadi panutan dan teladan anak-anak didiknya.
Kedua, عَزِيزٌ عَلَيْهِ ما عَنِتُّمْ (berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami). Inilah salah satu akhlak mulia Rasul, beliau merasa berat dan sedih atas penderitaan yang dialami umatnya.
Dikutip dari Kitab Maraqi Al-‘Ubudiyyah karya Syekh Nawawi Al-Bantani, hingga di saat menjelang akhir hayatnya, Rasulullah tetap memikirkan nasib umatnya. Bahkan ketika merasakan dahsyatnya rasa sakit sakaratul maut, beliau masih sempat berdoa untuk keselamatan umatnya, “Ya Allah, dahsyat sekali maut ini. Timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku. Jangan (timpakan) kepada umatku.”
Penderitaan terberat adalah kelalaian terhadap Allah. Karena jika seorang hamba telah melalaikan Tuhan Penciptanya, pastilah ketaatan padaNya akan terabaikan. Dan pengabaian terhadap ketaatan akan berujung siksa dan neraka. Rasulullah sangat sedih jika ada umatnya yang terjerumus ke dalam neraka. Maka beliau senantiasa memberikan nasihat dan peringatan agar umatnya selalu dalam jalur ketaatan, serta taubat dari maksiat, bahkan berbuat sangat tegas dan keras, jangan sampai ada kekufuran yang berujung keabadian di neraka. Panas api neraka sakit luar biasa, dan Rasulullah ikut sakit dan sedih merasakan apa yang akan menimpa umatnya.
Guru pun semestinya demikian. Anak-anak didik yang sama sekali bukan anak, keluarga dan kerabatnya, tetapi akan terasa berat membayangkan anak-anak didiknya kelak hidup sengsara akibat tak punya ilmu dan pengetahuan memadahi sebagai bekal mengarungi kerasnya kehidupan. Maka segala cara dicurahkan oleh guru untuk mendisiplinkan anak-anak didiknya, berbagai strategi dirancang agar materi pelajaran yang disampaikannya dapat dipahami dengan baik, segala upaya ditempuh agar anak-anak didiknya berminat dan antusias serta riang gembira dalam menjalani proses pembelajaran. Dan, tak kalah pentingnya, guru ideal menyungkur sujud dan menangis di tengah keheningan malam, mendoakan anak-anak didiknya, agar kelak menjadi orang-orang berguna dan sukses di kehidupan masa depannya.
Ketiga, حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ . Terjemah harfiahnya adalah “sangat menginginkan bagimu”. Maksudnya, Rasulullah sangat menginginkan kebaikan keadaanmu, dan kehadiranmu di sisi Tuhanmu. Beliau sangat ingin jangan sampai kalian lalai dari Allah. Seorang guru pun demikian, pasti menginginkan hal terbaik dicapai oleh anak-anak didiknya. Nampaknya, tak seorangpun guru yang menginginkan anak didiknya celaka. Jika pun guru mendisiplinkan anak-anak didiknya dengan apa yang sering disebut hukuman, maka hal itu justru muncul dari dari sikap welas mereka. Kadang-kadang memang keras cenderung melampaui batas, tetapi tetap saja tujuan awalnya adalah baik. Dalam istilah Jawa, “Tega larane, ora tega patine”.
Keempat dan kelima, بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُفٌ رَحِيمٌ penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman. Sifat Ra’uf dan Rahim sebenarnya dua sifat yang dimiliki Allah, sebagai bagian dari asmaul husna. Dalam Tafsir Ruhul Ma’ani, dijelaskan bahwa Ra’uf artinya menolak segala hal yang menyakiti mereka, sedangkan Rahim adalah menarik segala hal yang bermanfaat bagi mereka. Konsekwensi dari adanya sifat Rauf pada diri Rasul adalah beliau selalu memberi peringatan dan ancaman kepada umatnya agar tidak berbuat dosa dan kemaksiatan. Sedang konsekwensi dari adanya sifat Rahim pada diri Rasul adalah beliau selalu membekali umatnya dengan ilmu dan pengetahuan. Seorang guru juga hendaklah memiliki dua sifat ini, Rauf dan Rahim. Dengan sifat Rauf guru selalu memberi peringatan agar anak-anak didiknya tidak mekukan kesalahan-kesalahan. Dengan sifat Rahim guru selalu memberi bekal keilmuan dan pengetahuan untuk kebaikan masa depannya.
Terakhir, sebuah pesan syair dari Imam Asy-Syafii mengingatkan kita
وَمَنْ لَمْ يَذُقْ مَرَّ التَّعَلُمِ سَاعَةً # تَجَرَّع ذُلَّ الْجَهْلِ طُولَ حَيَاتِهِ
Barangsiapa yang tidak mau merasakan pahitnya proses belajar sesaat, maka dia akan menanggung hinanya kebodohan sepanjang hidupnya.
Semoga Allah senantiasa menunjuki dan menuntun kita meraih Ridla-Nya. Amin.
Tinggalkan Balasan