Pahlawan, Tempe dan Kebodohan

Pahlawan, Tempe dan Kebodohan

Surabaya, tujuh puluh dua tahun yang lalu

Eurofia dan suka cita pasca kemerdekaan hancur luluh dengan singkat. Pesta pora kemenangan pertiwi terpaksa terhenti oleh kedatangan musuh baru .Siapa gerangan? Ternyata para pemenang perang dunia berniat memaksa kita tunduk di bawah ketiak mereka. lantas apa reaksi Surabaya? Dengan bodohnya mereka tak mau menyerah. Lebih baik mati mengangkat senjata ketimbang melihat kemerdekaan pertiwi direngut penjajah.

Indonesia, negeri dengan mental tempe berniat melawan sekutu. Negeri bayi berumur dua bulan tak mau tunduk dengan perintah penguasa baru dunia. Kebodohan macam apa yang melanda negeri garuda ini? Tapi, itulah pahlwan kita. Sosok yang menolak menyerah dan tunduk pada kegagalan. Meski rasio dan statistik sepakat menunjukkan kekalahan mereka, sikap mereka sama, kembali bangkit, mulai dari  nol, lantas kembali berjalan. Mengapa mereka memilih teguh dalam pendirian? Mereka begitu bodoh untuk menghitung kemungkinan menangkah? Atau terlalu cerdas hingga sanggup merancang ribuan strategi baru untuk menang?

Bapak Soetomo merupakan contoh yang pas. Saat para panglima dan ahli strategi (yang tentunya cerdas-cerdas) kebingungan soal cara menggerakkan rakyat Surabaya. Dengan sembrono ia malah merebut kantor siaran radio. Lantas berpidato dengan berapi-api menyulut keberanian arek-arek Suroboyo. Bung tomo, dengan bodohnya memilih untuk menerabas bahaya dan cuek dengan resiko-resiko yang mungkin ia dapatkan. Karena tentunya, kepala dan nyawanya tentu menjadi buronan musuh.

Semangat bela Negara tak hanya dimiliki oleh warga Surabaya, konon ada berpuluh-puluh santri dari kota-kota lain seperti Tulungagung dan Madiun yang pergi berjihad ke medan perang dengan modal jalan kaki dan (tentunya) tanpa senjata modern. Para tentara tentu kaget melihat ada rombongan pemuda sarungan dengan polos bertanya pada mereka “Pak, Perangenangendi, Akuarepemelu.”Lantas, bagaimana performa para santri di medan perang? Yang jelas penuh kekocakan dan kebodohan khas pesantren. Tak jarang beberapa peluru dan bom yang meleset malah mengenai pihak Indonesia. “Yo maklum pak, wong aku lagek sinau mau isuk.” Kata mereka saat Pak Komandan memarahi mereka.

Terkadang, masa bodoh dan cuek akan kekalahan merupakan kunci keberhasilan. Anggap para Founding Father Indonesia sebagai contoh pemilik sikap ini. Saat kebayakan asia tunduk terhadap penjajah, apa yang mereka pilih? Hidup nyaman di bawah ketiak asing? Tidak, dengan bodohnya mereka bangit melawan penindasan. Dengan ribuan strategi cerdas dan kebodohan dalam mengakui kekalahan, kita bisa merdeka.

 

Lakalkul,
Penulis merupakan alumni Master Rq

Share this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *